Jalan Bandungan. Salah satu karya Nih.Dini yang saya sukai. Dengan latar zaman penjajahan Belanda, buku ini berkisah tentang kehidupan seorang perempuan bernama Muryati. Anak tentara yang berprofesi sebagai guru SD.
Ibunya yang hanya ibu rumah tangga biasa. Mendidik Muryati dan adik-adiknya agar bisa mandiri. Tidak bergantung kepada siapapun termasuk suami. Di sinilah konflik dan perjuangan seorang Muryati dimulai. Ketika bapaknya meninggal dunia.
Judul buku: Jalan Bandungan
Penulis : Nh. Dini
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku : 437 halaman
ISBN : 978-979-22-5085-5
"Keluarga itu tidak seharusnya mendekam di rumah saja. Keluarga yang seimbang harus keluar, bergaul dan mengetahui lingkungan. Baik di dalam kota maupun di luar kota."
Begitu salah satu prinsip yang diterapkan. Karena itulah si bapak suka membawa anak-anaknya berekreasi. Tidak harus mahal, yang penting bisa mendapatkan pemandangan baru. Tak melulu di rumah.
Namun kondisi seperti itu tak berlangsung lama. Muryati tak merasakan kehangatan dan kebersamaan seperti itu lagi semenjak si bapak meninggal dunia. Si ibu sudah sibuk dengan dagangannya. Setelah bapak meninggal si ibu membuka warung demi untuk menyambung hidup. Pensiunan si bapak digunakan untuk keperluan sekolah anak-anak. Muryati yang sebentar lagi tamat Sekolah Pendidikkan Guru (SPG), sayang jika mesti berhenti di tengah jalan.
Maka ketika Widodo, calon suami Muryati berniat menikahi Muryati secepatnya, si ibu menentang keras. Meskipun salah satu alasan Widodo saat itu agar bisa membantu si ibu. Jika sudah menjadi menantu tentu ia tidak akan sungkan membantu segala macam. Juga tidak perlu takut digunjingkan tetangga. Dan Muryati merasa pendapat calon suaminya benar juga. Tetapi si ibu berpendapat lain. Bagi si ibu pantang bergantung kepada orang lain, biar pun itu seorang menantu.
Begitulah, Muryati diharuskan tamat SPG terlebih dahulu. Baru boleh menikah.
"Puas-puaskan kesenanganmu bergaul dengan kawan-kawan. Kelak kalau sudah menikah, akan Kau lihat sendiri. Semua berubah!" begitu pesan si ibu.
Yang rupanya tepat sekali. Begitu menikah dan memiliki anak, kehidupan Muryati berubah. Ia dilarang mengajar lagi. Sementara keadaan ekonomi terasa kurang. Gaji suami tak semua ia kelola. Ia hanya diberi jatah sesuai kebutuhan. Belum lagi sikap suami yang mulai terlihat kasar dan tertutup.
Puncaknya ketika si suami ditangkap karena terlibat gerakan terlarang saat itu. Muryati semakin tak berkutik. Seluruh mata masyarakat seakan menuduh dirinya bagian dari gerakan itu juga.
Beruntung Muryati memiliki seorang ibu yang begitu pengertian. Atas uluran tangan si ibu, Muryati perlahan-lahan mulai menata hidupnya. Mula-mula ia mengikuti jejak si ibu, berjualan. Hasilnya sebagian ia gunakan sebagai modal mencari pekerjaan. Dan atas bantuan teman-teman, ia pun bisa mendapatkan pekerjaan lagi, yakni mengajar. Meskipun diiringi dengan sorot mata curiga dan tak suka dari rekan-rekan guru.
Tetapi Muryati tak menyerah. Beruntungnya lagi ia memiliki sahabat yang begitu baik, saling mendukung satu sama lain. Sebuah persahabatan yang telah terjalin semenjak sekolah dan tetap terjaga sampai mereka berkeluarga. Persahabatan antara 5 orang gadis. Ganik, Sri, Siwi, Mur dokter dan Mur guru, yakni dirinya.
Dan atas dukungan keluarga Ganik, Muryati mencoba mengikuti tes untuk mendapatkan bea siswa ke negeri Belanda. Setelah melalui berbagai cobaan, mulai dari anaknya yang mengalami kecelakaan sampai pandangan sinis rekan-rekan sesama guru. Akhirnya Muryati mendapatkan bea siswa tersebut. Dan terbanglah ia ke negeri Belanda.
Di negeri Belanda ia bertemu dengan Handoko. Adik iparnya yang belum pernah dilihatnya secara langsung. Hanya melalui cerita mertuanya saja. Selama di sana Handoko banyak membantu Muryati yang baru pertama kalinya ke luar negeri. Menemani Muryati mengurus segala keperluan selama di sana. Juga mengunjungi tempat-tempat yang indah di sana.
Selama kebersamaan itu rupanya diam-diam Handoko mulai jatuh cinta kepada Muryati. Dan hal itu bukan tidak disadari oleh Muryati. Meskipun ia dan Widodo, kakak Handoko sudah tidak bersama. Tapi mereka belum bercerai. Maka Muryati pun menjaga hubungannya dengan Handoko agar jangan sampai berkembang jauh.
Tetapi siapa yang bisa melawan takdir cinta? Setelah melalui banyak pertimbangan dan setelah mengurus perceraiannya, Muryati berani menerima cinta Handoko. Akhirnya mereka pun menikah dan Handoko menetap di Indonesia.
Kehidupan rumah tangga dalam balutan cinta yang indah pun dijalani Muryati. Handoko berbeda sekian derajat dengan kakaknya, Widodo. Tetapi semua itu tak berlangsung lama. Kesedihan kembali menghampiri Muryati. Bermula dari meninggalnya Garnik, sahabatnya, akibat penyakit kanker. Lalu kehadiran mantan suami yang telah keluar dari penjara. Dengan alasan bertemu anak, mantan suaminya diam-diam melakukan teror dan fitnah terhadap Handoko.
Celakanya Handoko lebih mempercayai ucapan si kakak. Kehidupan rumah tangga Muryati pun mulai goyah dengan sikap Handoko yang mulai berubah. Semakin lama Muryati dan Handoko sudah tak searah lagi dalam menyelesaikan masalah. Mereka pun memutuskan berpisah pada akhirnya. Tidak bercerai.
Tetapi berpisah layaknya seorang sahabat. Handoko memutuskan kembali ke negeri Belanda. Muryati dengan kehidupannya sebagai seorang guru dan orang tua tunggal bagi anak-anaknya. Muryati membiarkan waktu mengalir mengikuti alurnya.
Di jalan bandungan segala suka dan duka telah ia alami. Masa-masa indah bersama Handoko tak akan begitu saja hilang dari ingatan. Juga saat-saat sedih kehilangan sahabat yang ia kasihi. Tetapi bukankah hidup memang seperti itu. Ada suka ada duka. Silih berganti. Muryati tak pernah mengeluh dengan semua itu. Hidup harus terus berjalan, dengan atau tanpa pendamping. (EP)
Komentar
Posting Komentar